Sabtu, 18 Januari 2025

YANG TERPECAH AKIBAT PEMILUKADA

Tidak lebih dari lima belas hari lagi di daerah saya akan dilakukan Pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati sekaligus pula memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Seperti juga daerah-daerah lainnya di Indonesia yang melalukan pemilukada serentak, maka suhu politik di daerah saya juga memanas. Ajang rasa itu menjalar ke semua arah,ke semua kalangan usia dan hampir tidak ada ruang kosong di daerah saya yang tidak dimasuki aroma panas politik ini. 
Pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah (Pemilu, Pilpres, dan Pemilukada) seharusnya diharapkan menjadi ajang untuk meneguhkan demokrasi dan persatuan bangsa. Namun, fenomena yang sering terjadi dan sekarang juga melanda daerah saya adalah perpecahan di kalangan masyarakat akibat dinamika politik yang memanas. Perbedaan pilihan politik, yang seharusnya menjadi hal yang lumrah dalam demokrasi, justru sering kali berubah menjadi konflik yang merusak hubungan sosial. Hal ini diperburuk oleh polarisasi politik yang semakin tajam di era media sosial.  

Salah satu faktor utama yang memicu perpecahan ini adalah penggunaan isu-isu sensitif, seperti agama, suku, dan identitas, untuk mendulang dukungan politik. Isu-isu tersebut sering kali dimanipulasi oleh aktor politik tertentu demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya, masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Pola ini dapat dilihat pada berbagai pemilu, di mana perbedaan pandangan politik bukan hanya menciptakan diskusi sehat, tetapi juga menciptakan jurang perpecahan.  

Saat ini media sosial juga turut berperan besar dalam memperburuk situasi ini. Informasi yang beredar sering kali tidak terverifikasi dan cenderung provokatif. Algoritma media sosial yang mengedepankan konten yang relevan dengan minat pengguna membuat masyarakat terjebak dalam "echo chamber" atau ruang gema. Akibatnya, orang cenderung hanya menerima informasi yang memperkuat keyakinannya dan memandang kelompok lain sebagai musuh. Pola ini membuat masyarakat semakin sulit untuk berdiskusi secara sehat dan saling memahami.  

Dampak dari fenomena ini sangat merugikan kehidupan bermasyarakat. Perpecahan sosial akibat pemilu sering kali meninggalkan luka yang mendalam, bahkan setelah kontestasi politik selesai. Relasi antar individu di lingkungan keluarga, teman, hingga komunitas menjadi renggang. Selain itu, kepercayaan terhadap institusi demokrasi juga dapat menurun ketika konflik terus-menerus dibiarkan tanpa solusi yang nyata. Jika situasi ini berlanjut, bukan tidak mungkin integrasi nasional akan terganggu.  

Untuk mengatasi perpecahan ini, diperlukan langkah nyata dari berbagai pihak. Para pemimpin politik harus lebih bertanggung jawab dalam berkampanye dengan mengutamakan isu programatik daripada memainkan isu identitas. Media, baik arus utama maupun media sosial, perlu mendukung pendidikan literasi digital untuk melawan hoaks dan narasi provokatif. Di tingkat masyarakat, perlu ada upaya untuk menghidupkan kembali budaya dialog yang sehat dan saling menghormati meski berbeda pandangan. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang tanpa mengorbankan persatuan bangsa.  
Saya hanya bisa berharap keadaan ini akan segera berlalu,dalam artian setelah pemilukada yang direncanakan serentak pada 27 November 2024 nanti,keadaan akan kembali pada mode pabrik. Setelah ditemukan pilihan terbanyak masyarakat tentang Bupati dan Gubernur yang mereka kehendaki,keadaan akan kembali membaik dan tentu pula hubungan sosial di antara kita akan kembali seperti sedia kala. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar